Minggu, 10 Mei 2009

Hulondalo (Gorontalo) : History

Gorontalo, provinsi baru di utara Sulawesi, memiliki kekayaan sejarah dan budaya yang beragam. Sejarah Gorontalo dimulai + 400 tahun yang lalu. Nama Gorontalo berasal dari kata Hulondalangi, yang terdiri dari dua kata yaitu Hua artinya orang dari Goa, Sulawesi Selatan, dan Londalengo artinya berjalan-jalan. Hulontalangi pada mulanya adalah nama sebuah kerajaan. Orang Gorontalo kemudian menyebut daerah dan penduduknya menjadi Hulondalo. Datangnya orang Belanda yang tidak dapat menyebut kata Hulondalo telah mengubah nama Hulondalo menjadi Gorontalo, dan digunakan hingga sekarang.

Menyusuri peninggalan sejarah Gorontalo, membawa kita pada dua masa penting dalam sejarah Gorontalo, yaitu masa penyebaran agama Islam dan masa perjuangan rakyat Gorontalo.


Penyebaran Agama Islam di Gorontalo

Gorontalo merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam di Indonesia Timur, selain Ternate dan Bone. Islam mulai disebarkan di Gorontalo pada abad ke-15. Keyakinan terhadap nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang bersumber dari ajaran agama sangat lekat dengan kehidupan religius masyarakat Gorontalo yang menjunjung tinggi falsafah “adat bersendi syara' dan syara' bersendi kitabullah”. Seiring dengan penyebaran agama tersebut, Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan masyarakat di wilayah sekitar seperti Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara), Buol Toli-Toli, Luwuk Banggai, Donggala (Sulteng) bahkan sampai ke Sulawesi Tenggara karena letaknya yang strategis menghadap Teluk Tomini (bagian selatan) dan Laut Sulawesi (bagian utara).

Salah satu tokoh penyebaran agama Islam di Gorontalo adalah Ju Panggola. Ju Panggola merupakan sebuah gelar atau julukan. Ju berarti ‘ya’, sedangkan Panggola berarti ‘tua’. Ju Panggola berarti Ya Pak Tua. Pak Tua yang dimaksud adalah Ilato, yang berarti kilat. Konon ia mempunyai kemampuan untuk menghilang dan muncul kembali jika negeri dalam keadaan gawat.

Pak Tua ini muncul dengan gambaran seorang kakek tua dengan jenggot putih selutut dan mengenakan jubah putih. Ia juga dijuluki sebagai “Awuliya” yaitu penyebar agama Islam sejak tahun 1400, sebelum Wali Songo berada di Pulau Jawa. Warisannya berupa ilmu putih yang diterapkan melalui ilmu bela diri pencak silat. Beliau tidak secara langsung melatih para muridnya melainkan hanya meneteskan air di mata sang murid, dan secara otomatis para muridnya memperoleh jurus-jurus persilatan secara spontan, baik melalui mimpi maupun melalui gerakan refleks.

Makam Ju Panggola terletak di atas bukit, di perbatasan Kabupaten Gorontalo dan Kota Gorontalo. Banyak peziarah yang datang untuk mengambil segenggam tanah dari makam Ju Panggola. Ajaibnya, walaupun sering diambil, tanah makam Ju Panggola tidak pernah berlubang. Selain itu, dari tanah tersebut selalu tercium bau harum.

Sejarah penyebaran agama Islam di Gorontalo juga ditandai dengan berdirinya Masjid Baiturrahim sejak abad ke-18. Masjid ini didirikan bersamaan dengan pembangunan Kota Gorontalo yang baru dipindahkan dari Dungingi ke Kota Gorontalo saat ini pada tahun 1726 oleh Paduka Raja Botutihe. Sebagai bagian dari Pusat Pemerintahan Kerajaan, fasilitas lain yang turut dibangun yaitu Yiladiya (Rumah Raja), Bantayo Pobuboide (Balairung/Balai Musyawarah), Loji (Rumah kediaman Apitaluwu (Pejabat Keamanan Kerajaan), dan Bele Biya/Bele Tolotuhu, yakni rumah-rumah pejabat kerajaan. Perjalanan sejarah mesjid selanjutnya adalah sebagai berikut:

- 1761: mesjid yang semula menggunakan konstruksi tiang-tiang kayu diperbaharui menggunakan pondasi dan berdinding batu oleh Raja Unonongo

- 1938: mesjid hancur karena gempa bumi dahsyat dan sejak saat itu pelaksanaan ibadah dilakukan pada bangunan darurat dekat mesjid tersebut hingga tahun 1946

- 1946-1947: pembangunan kembali dipimpin oleh Ab. Usman sebagai Pimpinan B.O.W. pada waktu itu

- 1964: bangunan diperluas dengan serambi utara dan barat oleh panitia yang diketuai oleh T. Niode dan wakil ketuanya H. Yusuf Polapa sebagai pelaksana harian

- 1969: dibentuk panitia baru yang diketuai K.O. Naki, BA (Camat Kota Selatan) dan A. Naue sebagai pelaksana harian serta Kadli Abas Rauf sebagai pimpinan Ibadah, yang melaksanakan perbaikan-perbaikan dibawah pimpinan Sun Bone

- 3 September 1979: pembangunan kembali

- 1982: penambahan lokasi untuk jama’ah wanita di bagian selatan mesjid oleh Bapak Drs. Hi. Abas Nusi sebagai Walikotamadya Gorontalo

- 1988: penataan pagar dan halaman oleh Bapak Drs. Ahmad Najamuddin (alm) sebagai Walikotamadya KDH Tingkat II Gorontalo

- 1996: penataan sumur bor sebagai tempat pengambilan air wudhu dan pendirian Menara Mesjid oleh Bapak Drs. H. Ahmad Arbie (alm) selaku Walikotamadya Tingkat II Gorontalo

- 1999: pemugaran total yang dilaksanakan pada masa jabatan Walikotamadya Tingkat II Gorontalo Drs. Hi. Medi Botutihe

Masih di dalam Kota Gorontalo, selain Mesjid Baiturrahim terdapat masjid yang cukup tua pula yaitu Masjid Hunto. Masjid yang terletak di pusat Kota Gorontalo ini, tepatnya di Kelurahan Siendeng merupakan salah satu rumah ibadah tertua di Gorontalo. Umurnya sekitar 300 tahun. Di masjid ini terdapat sebuah sumur dan beduk yang usianya sama dengan umur masjid tersebut.


Perjuangan Rakyat Gorontalo

Peninggalan sejarah perjuangan rakyat Gorontalo tidak kalah menariknya dengan peninggalan sejarah penyebaran agama Islam di Gorontalo.

Sekitar 1 km berjalan ke arah timur dari Makam Ju Panggola, di Kecamatan Kota Barat, Kota Gorontalo, terdapat peninggalan sejarah perjuangan raja-raja Gorontalo ketika melawan Portugis, yaitu Benteng Otanaha. Benteng yang dibangun pada tahun 1522 ini masih berdiri kokoh sampai saat ini. Konon, benteng ini dibangun dari campuran pasir, kapur, dan putih telur burung maleo, spesies khas yang terdapat di Sulawesi, khususnya Gorontalo. Sejarah pembangunan benteng ini diawali dari kedatangan awak kapal layar Portugis yang harus singgah karena kehabisan bahan makanan, cuaca buruk, dan gangguan bajak laut. Saat bertemu dengan raja, mereka sepakat untuk mendirikan tiga buah benteng guna memperkuat pertahanan dan keamanan negeri. Nama ketiga benteng tersebut diabadikan dari nama-nama keluarga kerajaan pada saat itu, yaitu Otanaha, Otahiya, dan Ulupahu. Ota artinya benteng, sedangkan Naha, Hiya (Ohihiya), dan Ulu/Uwole merupakan nama-nama keturunan raja saat itu. Benteng tersebut memiliki empat buah tempat persinggahan dan 348 buah anak tangga ke puncak sampai ke lokasi benteng. Jumlah anak tangga tidak sama untuk setiap persinggahan. Dari dasar ke tempat persinggahan I terdapat 52 anak tangga, ke persinggahan II terdapat 83 anak tangga, ke persinggahan III terdapat 53 anak tangga, dan ke persinggahan IV memiliki 89 anak tangga. Sementara ke area benteng terdapat 71 anak tangga, sehingga jumlah keseluruhan anak tangga yaitu 348.

Benteng Otanaha bukanlah satu-satunya peninggalan benteng di daerah Gorontalo. Peninggalan lainnya adalah Benteng Oranye yang terletak di sebelah utara Kota Gorontalo. Benteng Oranye (Orange Fortress) merupakan salah satu peninggalan bersejarah yang terdapat di Kecamatan Kwandang, kurang lebih 61 km ke arah utara dari Kota Gorontalo. Benteng ini dibangun oleh bangsa Portugal pada abad ke-17 (tahun 1630), dengan berukuran panjang 40 meter, lebar 32 meter, dan tinggi 5 meter (40x32x5 meter). Benteng ini memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan Benteng Otanaha dan memiliki 178 buah anak tangga.

Puncak perjuangan rakyat Gorontalo terjadi pada tanggal 23 Januari 1942, yaitu ketika rakyat Gorontalo berhasil menggulingkan Pemerintahan Kolonial Belanda, dan mendirikan pemerintahan yang merdeka dan berdaulat. Perjuangan rakyat Gorontalo pada waktu itu dipimpin oleh Nani Wartabone, pejuang daerah yang dikenal gagah berani melawan penjajahan Belanda. Nani Wartabone dilahirkan pada tanggal 30 April 1907 dan wafat pada tanggal 3 Januari 1996, di usia 89 tahun. Beliau dilahirkan dari pasangan Zakaria Wartabone, seorang Jogugu (semacam Camat) pada zaman Pemerintahan Belanda dan Saerah Mooduto.

Keberhasilan perjuangan Nani Wartabone dan rakyat Gorontalo pada tanggal 23 Januari 1942 diabadikan dengan dibangunnya Monumen Pahlawan Nani Wartabone di Lapangan Teruna Remaja, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo. Monumen ini dibangun sekitar tahun 1987 pada masa pemerintahan Drs. A. Nadjamudin, Walikotamadya Gorontalo.

Selain kekayaan sejarah yang tinggi, Gorontalo juga memiliki beragam budaya yang sangat menarik, di antaranya:

- Desa wisata perkampungan Suku Bajo dengan bangunan rumah terapung di Desa Bajo, Kecamatan Tilamuta dan di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato.

- Desa Bongo di Kecamatan Paguyaman. Desa tersebut adalah ‘miniatur’ Pulau Jawa dan Bali, karena dihuni oleh transmigran dari kedua pulau itu. Uniknya, masyarakat di desa-desa tersebut tetap mempertahankan adat istiadat daerah asalnya.

- Rumah Adat Dulohupa yang merupakan balai musyawarah dari kerabat kerajaan. Terbuat dari papan dengan bentuk atap khas daerah tersebut. Pada bagian balakangnya terdapat anjungan tempat para raja dan kerabat istana beristirahat sambil melihat kegiatan remaja istana bermain sepak raga. Saat ini rumah adat tersebut berada di tanah seluas + 500m² dan dilengkapi dengan taman bunga, bangunan tempat penjualan cenderamata, serta bangunan garasi bendi kerajaan yang bernama talanggeda. Pada masa pemerintahan para raja, rumah adat ini digunakan sebagai ruang pengadilan kerajaan. Bangunan ini terletak di Kelurahan Limba, Kecamatan Kota Selatan, Kota Gorontalo.

- Rumah Adat Bandayo Pomboide yang terletak di depan Kantor Bupati Gorontalo. Bantayo artinya 'gedung' atau 'bangunan', sedangkan Pomboide berarti 'tempat bermusyawarah'. Bangunan ini sering digunakan sebagai lokasi pagelaran budaya serta pertunjukan tari di Gorontalo. Di dalamnya terdapat berbagai ruang khusus dengan fungsi yang berbeda. Gaya arsitekturnya menunjukkan nilai-nilai budaya masyarakat Gorontalo yang bernuansa Islami.

- Budaya pasang lampu “Tumbilo Tohe” yaitu tradisi pasang lampu yang dilaksanakan tiap tahun di bulan puasa, 3 hari menjelang Idul Fitri yaitu pada tanggal 27 Ramadhan. Tradisi tersebut menurut sejarah dimaksudkan untuk memudahkan umat Islam dalam memberikan zakat fitrah-nya pada malam hari. Pada saat itu hampir setiap tempat dipasangi lampu sehingga kota Gorontalo menjadi terang benderang. Tumbilo Tohe terus dikembangkan sehingga dalam penataannya semakin indah, menarik namun tetap berpegang pada nilai-nilai dan nuansa kebudayaan Islam.

- Tari Dana-dana adalah tari pergaulan remaja yang sampai saat ini masih berkembang di Daerah Gorontalo.

- Dungan Tanali adalah petikan gambus dari Gendang Marwas. Syair pantunnya berisi pesan-pesan pembangunan yang dapat disimak oleh penonton.

- Tari Saronde adalah tari pergaulan keakraban dalam acara resmi. Tarian ini diangkat dari tari adat malam pertunangan pada upacara adat perkawinan daerah Gorontalo.

- Tari Tanam Padi adalah tarian yang digunakan saat merayakan panen raya padi dari para petani, namun juga digunakan dalam panen-panen lainnya sebagai tanda suka cita keberhasilan para petani dalam hasil bumi yang dipanennya.

- Tari Sabe adalah atraksi alami berupa tarian di atas bara api dengan kekuatan magis. Tarian ini bisa dinikmati di Desa Ayuhulalo yang juga berada di Kecamatan Tilamuta.

Demikianlah perjalanan wisata sejarah dan budaya di beberapa daya tarik wisata Provinsi Gorontalo. Jalan-jalan di daerah tersebut dapat menjadi suatu pengalaman yang sangat menarik dengan adanya keragaman cerita sejarah dan budaya masyarakatnya. Selain menambah ilmu pengetahuan, tentu kita juga dapat merasa menjadi bagian dari kekayaan sejarahnya. Namun masih banyak lagi yang dapat ditemui di Gorontalo, termasuk kekayaan alam. Oleh karena itu, mari bersiap-siap menjelajahi berbagai kekayaan yang dimiliki tanah air Indonesia.

Sumber : http://kikykecil.multiply.com